Skip links

Tingkatkan Kesejahteraan Nelayan Tangkap, Tim Dosen Unimed Lakukan Program Kemitraan di Desa Percut

LPPM Universitas Negeri Medan melakukan program kemitraan dengan nelayan tangkap tradisional di Desa Percut, Kecamatan Percut Seituan, Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 7 Agustus 2022. Melalui Tim Dosen yang diketuai oleh Dosen Fakultas Ilmu Sosial Dr. Erond L. Damanik dengan anggota Apriani Harahap, Muhammad Rivai, Emil Riza Tarigan dan M. Aryanti. Adapun pokok kemitraan ini adalah pemberdayaan dan penguatan nelayan tangkap tradisional untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan. Selain memberikan pembimbingan, program kemitraan ini melibatkan 17 nelayan dan terbagi dalam 3 kelompok. Semua partisipan bekerja sebagai penangkap ikan, kerang-kerangan (Molussca), maupun kepiting bakau (Scylla spp.) di sepanjang anak Sungai Percut yang bermuara ke Selat Malaka. Program ini melibatkan Ilhamsyah, penyuluh pertanian dan perikanan yang berasal dari Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) Kabupaten Deliserdang.

Kemitraan dilanjutkan dengan pemberian 8.500 bibit ikan nila atau tilapia hitam (Oreochromis niloticus) kepada ketiga kelompok yang dibudidakan dalam tambak. Program ini bermaksud untuk menambah kesejahteraan nelayan tangkap tradisional melalui Tilapia Farm.  Benih Ikan Nila yang diberikan berukuran 3-5 cm atau seukuran 2-3 jari menurut nelayan. Biasanya, bibit ikan nila seukuran itu, angka harapan hidup mencapai 95 persen dan dinyatakan cukup kuat beradaptasi saat peralihan dari air tawar ke payau, sebagaimana ditegaskan Rakibun, kordinator kelompok nelayan tangkap di Desa Percut. Sebagaimana diketahui, ikan nila adalah jenis ikan yang dapat hidup di dua kondisi air, yakni tawar maupun payau. Berbeda dengan ikan mas (Cyprinus carpio), gurami (Osphronemus goramy), patin (Pangasianodon hypophthalmus), dan bawal (Bramidae) yang hanya bertahan hidup di air tawar. Pada rentang hari tertentu, biasanya pada hari ke-17 kalender hingga menjelang awal bulan adalah musim pasang besar dimana air kolam lebih asin dibanding pada pasang mati pada awal hingga tengah kelender. Kolam atau tambak di Percut, semuanya adalah payau yakni perpaduan air tawar yang berasal dari dataran tinggi Karo (Karo Hingland) maupun asin yang berasal dari Selat Malaka sehingga paling mungkin adalah nila, pungkas Erond L. Damanik.

Ketiga kolam pembesaran ikan yang dipergunakan adalah milik nelayan yang disekitar paluh Percut. Ketiga kolam telah dibersihkan dari rumput, predator ikan, maupun telah dipasangi jaring dibagian dalam kolam. Rata-rata luas kolam yang dimanfaatkan adalah 30 x 40 meter persegi. Kolam-kolam yang digunakan ini telah di survei pada pertengahan Mei lalu, disepakati dan dibentuk kerjasama.

Penyerahan bibit ikan dan pakan ternak diterima Rakibun, koordinator kelompok nelayan tangkap tradisional di Desa Percut. Pakan nila yang diserahkan berjenis pelet sebanyak 5 sak atau 250 Kg. Setelah serah terima bibit dan pakan, dilanjutkan penyebaran ikan secara simbolis ke dalam kolam pembesaran, berikut penaburan pakan. Sesudahnya, dilanjutkan dengan diskusi dengan nelayan ataupun masyarakat yang kebetulan hadir di sekitar lokasi program kemitraan. Lebih khusus kepada Bapak Rakibun, nelayan tradisional yang berusia 64 tahun dan memiliki warung kopi sangat sederhana, diberikan bantuan lain berupa bubuk kopi, gula, bubuk minuman saset, minyak makan, termasuk indomie. Sama seperti nelayan lainnya yang terlibat dalam program ini, Rakibun menyatakan “Alhamdulillah”, kami masyarakat di Desa Percut ini mendapat perhatian dari Universitas Negeri Medan. Bantuan ini pasti bermanfaat bagi kami dan jarang kami dapatkan, pungkas Rakibun. Sementara itu, Andre berusia 37 tahun mengungkapkan terimakasih atas perhatian yang diberikan oleh Universitas Negeri Medan.

Melalui diskusi, kelompok nelayan binaan ini memohon agar diberikan pelatihan membuat pelet ikan. Mengapa, menurut Andre dan juga Rakibun, harga pelet sangat mahal, paling rendah Rp.180.000 per sak atau 50 kg. Jelas, kami tidak sanggup membelinya, tegas Andre dan diaminkan Rakibun. Keluhan lain adalah rendahnya pendapatan per hari nelayan tangkap tradisional ini. Rata-rata pendapatan per hari, itupun ketika pasang besar adalah Rp.45.000 untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Belum lagi biaya sekolah dan undangan yang harus dihadiri.

Menurut Erond L. Damanik, ketua program kemitraan ini, bahwa nelayan tangkap tradisional adalah penangkap ikan di paluh atau sungai-sungai kecil yang bermuara ke Selat Malaka. Mereka ini menggunakan sampai kayuh, dan peralatan tangkap sederhana seperti bubu, pancing, ataupun jala. Kebanyakan diantaranya adalah pemburu kepiting bakau (scylla spp) yang dijual kepada agen pada sore hari. Tangkapan lain adalah kerang-kerangan (Molusca) yang biasanya menjadi makanan bebek petelur dan pedaging. Jenis lainnya adalah Sembilang (Plotosidae) dan biasanya diecer langsung ke Tempat Pelelangan Ikan, Bagan Percut. Pekerjaan lainnya adalah mengambil daun nipah untuk dikemas menjadi atap serta dijual kepada peminatnya. Para nelayan berharap agar kemitraan ini berkesinambungan dan melibatkan jumlah yang lebih besar dengan paket-paket yang beragam.(Humas Unimed)