Skip links

Peneliti Jepang Masatoshi Ito : Orang Jepang adalah Etnis dalam Konteks Sumatera Utara

Konstruksi identitas kelompok etnis di Sumatera Utara khas. Tidak adanya budaya dominan, masing-masing kelompok etnis menegaskan keberadaannya. Atas realitas itu, bekas tentara Jepang yang tidak pulang ke negaranya karena malu kalah perang, setelah kemerdekaan Indonesia merupakan generasi pertama menjadi orang Jepang dalam pemahaman etnis dalam konteks Sumatera Utara.

Demikian poin penting dari paparan Dr. Masatoshi Ito, MA dari Nihon University dan antropolog dari Unimed Prof Usman Pelly, Ph. D dalam kuliah umum yang dilaksanakan atas kerjasama Pengda Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Sumut dengan Prodi Antropologi Sosial Pascasarjana Unimed, Kamis (1/9). Bertempat di ruang sidang Pascasarjana Unimed, ratusan peserta dari berbagai wilayah di Indonesia hadir secara ofline dan online via zoom menyimak paparan dari kedua narasumber.

Masatoshi Ito, memberikan penjelasan bagaimana Orang Jepang di Sumatera Utara mengkonstruksi identitasnya berdasarkan hasil penelitiannya mengenai  keberadaan Orang Jepang di Sumatera Utara, yang telah dibukukan berjudul “An Etnography of Japanese Indonesians –Weaved Japanese Consciousness”, Januari 2022.

Penelitiannya yang menggunakan pendekatan etnografi dan sejarah, menemukan bahwa ada 324 orang bekas tentara Jepang yang tidak kembali ke negaranya. Hal ini sehubungan dengan rasa malu untuk pulang sebagai pasukan yang kalah perang. Pasca kemerdekaan, bekas tentara Jepang ini menjadi warga negara Indonesia dan menikah dengan warga setempat yang berasal dari berbagai etnis yang menetap di Sumatera Utara, seperti Jawa, Tionghoa dan Mandailing. Bagi yang menikah dengan Orang Mandailing misalnya, kemudian memeluk agama Islam dan juga diberikan marga.

Namun menurut peneliti dari Nihon University ini, menjadi warga negara Indonesia dan perkawinan tidak menghilangkan identitasnya sebagai Orang Jepang, tetapi yang terjadi adalah konstruksi identitas. “Awalnya Orang Jepang sebagai bangsa menjadi Orang Jepang dalam pengertian etnis dalam konteks Sumatera Utara”, jelasnya.

Lebih lanjut, Ito mengakui bahwa generasi ke-2 dan ke-3 Orang Jepang ini identitas Jepangnya tidaklah sekuat Orang Jepang generasi pertama. Namun, identitas sebagai keturunan Jepang di Sumatera Utara tetap dirawat generasi penerusnya dengan membentuk komunitas yang tergabung dalam Yayasan Warga Persahabatan (Fukushi Tomo No Kai). Yayasan ini menguatkan identitas sebagai komunitas keturunan Jepang, yang secara berkala melakukan pertemuan keluarga dan kegiatan lainnya untuk mengingatkan identitas mereka sebagai keturunan Jepang.

Prof. Usman Pelly, dalam kesempatan itu, menambahkan penjelasan mengapa generasi pertama Jepang menjadi etnis Jepang/orang Jepang di Sumatera Utara? Menurutnya hal tersebut bisa ditelusuri atas kebijakan pemerintah kolonial Belanda di penghujung abad ke 19.  Belanda telah menciptakan segregasi dan stratifikasi sosial ekonomi yang kuat melalui membina buruh Tionghoa di perkotaan  menjadi lapisan pedagang menengah baru (buffer-range) yang menjadi lapisan penyangga antara lapisan pedagang kelas bawah (Aceh, Minang, Bugis, Mandailing, dan lainnya) dengan  pedagang kelas atas (Eropa).

Pelly, lebih lanjut menyampaikan bahwa kebijakan kolonial itu pulalah yang menyebabkan mengapa kuli kontrak Jawa tetap sebagai kuli kontrak, sedang bekas kuli kontrak Cina menjadi toke. “Jadi ada andil Belanda yang menciptakan struktur sosial dan ekonomi di masa kolonial dan implikasinya hingga saat ini secara sosial dan ekonomi di Sumatera Utara”, jelasnya.

Lebih lanjut, Antropolog senior ini dengan mengutip Huntington (1992) bahwa masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, telah memiliki sejarah pluralitas sendiri. Dalam konteks Sumatera Utara kata Pelly, sejarah kolonial telah menyebabkan Sumut yang beragam etnis menjadi surga kajian etnisitas di dunia. Orang Sumut terbiasa hidup dalam keragaman dan perbedaan. Tidak ada keharusan untuk melebur (melting pot). “Semua etnis bebas mengekspresikan dirinya. Identitas semakin menguat – berbeda dengan aslinya. Itu menjadi kekayaan kita”, tegasnya.

Sebagai penutup, Dr. Ratih Baiduri selaku moderator memberikan catatan bahwa keberagaman etnis di Sumut melahirkan sebuah kearifan lokal (local genius). Dalam keberagaman,  tercipta nilai-nilai penerimaan terhadap perbedaan, toleransi dan kerukanan.  Sehingga tidak mengherankan mengapa generasi pertama Jepang menjadi etnis Jepang/orang Jepang di Sumut yang sebenarnya menunjukkan perbedaan dengan orang Jepang dari daerah asalnya. “Local genius yang dipunyai oleh etnis-etnis/orang-orang di Sumut bisa jadi model antisipasi terhadap konflik antar etnis, ras dan agama”, ucapnya memberikan catatan penting penutup (rel).